Langsung ke konten utama

manusia setengah dewa





Pencerah pada malam yang kelam, hampir tiada yang tahu bahwa hadirmu juga penentu masa depan bibit pohon yang tengah tumbuh itu. Para tetua berkata pilihan kami salah dan pengalaman kami belumlah banyak. Maka tak pantas menyimpang dari jalur garis keturunan yang memilih kekuasaan yang begitu gitu saja. Mereka bilang pilihan kami pilihan orang bodoh, dan mereka bilang pilihan kami melenceng dari adat. 
Kami hanya tak ingin darah masa depan kami harus disumbangkan pada petinggi yang bringas, kami hanya tak ingin menyumbang kehancuran masa depan kami, meskipun kata mereka , mereka akan menjunjung kami dan para tetua pun berkata serupa, tapi hati kami beda, ini kami yang merasakan sendiri, ini menyangkut masa depan kami, menyangkut hidup mati, menyangkut darah suci.
Ini sedang masa ku, jadi jangan campur adukan piihan kami pada masamu dulu, jelas berbeda, yang dibutuhkannya pun berbeda, jelas! Maaf bila memang kami banyak kemakan omongan media tapi kami juga tidak biasa lepas dari media, ibarat zaman dulu. Media ibarat guru pada zaman dulu. Dan memisahkan murid pada gurunya? Apakah tidak aneh?
Benar katamu, kami anak bau kencur tak mengerti cara bermainnya tapi sudah berani berkata sok paling pintar se-jagad raya.
Kami hanya memilih manusia setengah dewa dari kalangan kami, yang munafik dimatamu tapi takkan jadi tabu untuk kami. Karena jelas, pemikiran kami berbeda. Apa salahnya menghargai satu sama lain? Bukankah  bunga juga takkan terlihat indah bila tak diberikan oleh lebah kecantikan lewat madu nya?

Biarkan yang muda yang Berjaya, berikami kesempatan untuk melebarkan kiprah tanpa ada perusaknya. Birkan kami memilih dengan hati tanpa ancaman apalagi diskriminasian. Kami butuh sesosok pemimpin yang bias menghargai dan menganggap kami ada, merundingkan dengan kekeluargaan . bukan pemimpin yang membunuh kami pada saat kami berteriak keadilan!
Mungkin benar kami sok tahu, mungkin benar kami kemakan omongan media, biarlah ini resiko yang kami ambil .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mana yang lebih nyoke?

  agaknya bingung menghadapi orang yang nge-jude kita kalau kita itu nyoke! padahal mah dia sendiri yang Raja nyoke!  oke, secara teoritis nyoke itu sama halnya seperti bawel, ngomong mulu tapi omongannya gak guna! ya begitulah.  gimana yaah... gue disuruh sabar..sabar.. seolah-olah tuh ada kata-kata yang menari-nari bertuliskan "enak gak enak telen aje!" yap gitu. dan apa gue pernah protes untuk hal itu? nggak! mau rasa yang mane hah? asin?pait?asem? gue telen semua dapet gulanya jarang-jarang doang. tapi apa gue pernah protes? sedangkan anda? sedikit masalah saja sudah nyoke kemana-mana! wajar, anda manusia dan saya juga manusia tidak luput dari kesalahan, apa bedanya? hanya derajatnya saja, anda terlalu banyak MENUNTUT!  anda tipikal orang yang PENUNTUT?! sedangkan saya? tipikal orang yang TERPAKSA NURUT. kenapa?!! gak suka dibilang PENUNTUT? iye? nyoke-in aje gue lagi dah, bukannya gitu kebiasaan anda?. anda pernah merasakan jadi saya kan? yasudah! kenapa anda ma

Jarum di tumpukan jerami

Masih, Prasangka yang anda temui saat ini bukanlah yang sebenarnya, karena pada kenyataannya sulit bukan menemukan jarum di tumpukan jerami? Ya, anda tau persis berapa ukuran dan warna jarum yang sedang anda cari pada tumpukan jerami itu, tapi mengapa masih juga sulit menemukannya? Sama seperti mencari tiap bongkahan hati yang telah Anda rusak dan kini anda menghardik saya untuk mengembalikannya utuh? Lalu anda melenggang dengan mudah dan berseru " kau pasti bisa mencari jarum itu diantara tumpukan jerami, bukankah kau sosok yang kuat?" Cih... Jerami itu sama saja seperti perkataan anda, banyak dan menumpuk di sudut ladang dan siap untuk di bakar sehingga cepat, cepat menjadi abu lalu di jual oleh kakek paruh baya sebagai bahan untuk memoles peralatan rumah tangga. Merasa di butuhkan? Ya, benar anda masih sangat dibutuhkan. Tapi apakah harganya masih mahal? Seharusnya anda sadar jarum itu takkan pernah berubah Tapi sialnya..anda membuang tepat pada tumpukan jerami itu,

Pilihan hati tak memerlukan strategi

Aku memilih tanpa strategi, hanya berpangku tangan pada keputusan hati. Terkesan tak peduli, tapi jauh di sanubari ada sebuah rasa gundah yang mengikuti Aku mencoba mengikuti jejak kaki, yang terkadang gentar saat mencoba menapaki Setiap warna yang ada pada pelangi, kadang tak sempat aku nikmati, karena begitu sibuk mencari jati diri Banyak yang mencoba menasihati, agar tak terlalu congkak diri, mau diapakan lagi, aku hanya mengikuti perkataan hati Sempat berfikir akan prestasi, yang sekian lama tak sempat aku miliki Setiap celoteh yang datang silih berganti tak pernah ku anggap sebagai belati, selalu saja ku coba untuk tak menggubris Setia pada pilihan memang sebuah prinsip, ingin mempertahankannya atau memilih untuk meninggalkan api saat telah berasap