Pencerah pada malam yang kelam, hampir tiada yang tahu bahwa
hadirmu juga penentu masa depan bibit pohon yang tengah tumbuh itu. Para tetua
berkata pilihan kami salah dan pengalaman kami belumlah banyak. Maka tak pantas
menyimpang dari jalur garis keturunan yang memilih kekuasaan yang begitu gitu
saja. Mereka bilang pilihan kami pilihan orang bodoh, dan mereka bilang pilihan
kami melenceng dari adat.
Kami hanya tak ingin darah masa depan kami harus
disumbangkan pada petinggi yang bringas, kami hanya tak ingin menyumbang
kehancuran masa depan kami, meskipun kata mereka , mereka akan menjunjung kami
dan para tetua pun berkata serupa, tapi hati kami beda, ini kami yang merasakan
sendiri, ini menyangkut masa depan kami, menyangkut hidup mati, menyangkut
darah suci.
Ini sedang masa ku, jadi jangan campur adukan piihan kami
pada masamu dulu, jelas berbeda, yang dibutuhkannya pun berbeda, jelas! Maaf
bila memang kami banyak kemakan omongan media tapi kami juga tidak biasa lepas
dari media, ibarat zaman dulu. Media ibarat guru pada zaman dulu. Dan
memisahkan murid pada gurunya? Apakah tidak aneh?
Benar katamu, kami anak bau kencur tak mengerti cara
bermainnya tapi sudah berani berkata sok paling pintar se-jagad raya.
Kami hanya memilih manusia setengah dewa dari kalangan kami,
yang munafik dimatamu tapi takkan jadi tabu untuk kami. Karena jelas, pemikiran
kami berbeda. Apa salahnya menghargai satu sama lain? Bukankah bunga juga takkan terlihat indah bila tak
diberikan oleh lebah kecantikan lewat madu nya?
Biarkan yang muda yang Berjaya, berikami kesempatan untuk
melebarkan kiprah tanpa ada perusaknya. Birkan kami memilih dengan hati tanpa
ancaman apalagi diskriminasian. Kami butuh sesosok pemimpin yang bias
menghargai dan menganggap kami ada, merundingkan dengan kekeluargaan . bukan
pemimpin yang membunuh kami pada saat kami berteriak keadilan!
Mungkin benar kami sok tahu, mungkin benar kami kemakan
omongan media, biarlah ini resiko yang kami ambil .
Komentar
Posting Komentar