Langsung ke konten utama

Dermaga tak bertuan

Cinta tak harus memiliki, kata kata itu yang begitu pasaran di dengar oleh telinga, meski nestapa juga ketika benar-benar merasakannya.

Seperti berlayar pada setangkai pelepah pohon pisang, aku tau , aku takkan mungkin menerjang ganasnya ombak dan kejamnya lautan luas. Apalagi yang ku tuju adalah samudera besar. Tanpa apapun yang dapat ku genggam.

Jangangankan mengucap rindu
Menepis tiap ragu pun tak mampu
Berharap tuk bisa terus bersama
Pada sebuah kepedihan yang tertumpuk
Membuat harapku kian lapuk
Bagai cinta yang tak bertepuk

Kini aku tengah berlayar,  hidupku bagai ter-ombang-ambing di lautan, memilih terus maju atau berlabuh pada dermaga yang dulu sempat ku tinggalkan.

Di depan mataku mungkin saja ada dermaga dan tempat yang lebih indah , aku tak tahu itu. Aku hanya berusaha terus berlayar, aku tak mungkin memutar arah.

Rasa ini telah mendewasakanku, untuk dapat mengerti apa itu merindu , merindu yang selalu tertahan demi rindu yang lebih besar, tiap harapan yang takkan terwujud.

Saling melepas.. Biarlah aku lepas.. Lepas dari beban hatimu. Karena itu hanyalah emosi yang terselimut ilusi yang dinamakan permintaan hati.

Lama memendam namun tak kunjung padam
Ingin berenang namun tenggelam
Meski terkadang masam
Tapi rasaku bukanlah sekedar dendam.

Aku tak mungkin memutar arah untuk kembali, dan aku juga takkan bisa menunggu di tengah lautan luas.

Karena aku tak tahu pada dermaga yang mana aku akan berlabuh entah untuk sementara atau selamanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mana yang lebih nyoke?

  agaknya bingung menghadapi orang yang nge-jude kita kalau kita itu nyoke! padahal mah dia sendiri yang Raja nyoke!  oke, secara teoritis nyoke itu sama halnya seperti bawel, ngomong mulu tapi omongannya gak guna! ya begitulah.  gimana yaah... gue disuruh sabar..sabar.. seolah-olah tuh ada kata-kata yang menari-nari bertuliskan "enak gak enak telen aje!" yap gitu. dan apa gue pernah protes untuk hal itu? nggak! mau rasa yang mane hah? asin?pait?asem? gue telen semua dapet gulanya jarang-jarang doang. tapi apa gue pernah protes? sedangkan anda? sedikit masalah saja sudah nyoke kemana-mana! wajar, anda manusia dan saya juga manusia tidak luput dari kesalahan, apa bedanya? hanya derajatnya saja, anda terlalu banyak MENUNTUT!  anda tipikal orang yang PENUNTUT?! sedangkan saya? tipikal orang yang TERPAKSA NURUT. kenapa?!! gak suka dibilang PENUNTUT? iye? nyoke-in aje gue lagi dah, bukannya gitu kebiasaan anda?. anda pernah merasakan jadi saya kan? yasudah! kenapa anda ma

Jarum di tumpukan jerami

Masih, Prasangka yang anda temui saat ini bukanlah yang sebenarnya, karena pada kenyataannya sulit bukan menemukan jarum di tumpukan jerami? Ya, anda tau persis berapa ukuran dan warna jarum yang sedang anda cari pada tumpukan jerami itu, tapi mengapa masih juga sulit menemukannya? Sama seperti mencari tiap bongkahan hati yang telah Anda rusak dan kini anda menghardik saya untuk mengembalikannya utuh? Lalu anda melenggang dengan mudah dan berseru " kau pasti bisa mencari jarum itu diantara tumpukan jerami, bukankah kau sosok yang kuat?" Cih... Jerami itu sama saja seperti perkataan anda, banyak dan menumpuk di sudut ladang dan siap untuk di bakar sehingga cepat, cepat menjadi abu lalu di jual oleh kakek paruh baya sebagai bahan untuk memoles peralatan rumah tangga. Merasa di butuhkan? Ya, benar anda masih sangat dibutuhkan. Tapi apakah harganya masih mahal? Seharusnya anda sadar jarum itu takkan pernah berubah Tapi sialnya..anda membuang tepat pada tumpukan jerami itu,

Pilihan hati tak memerlukan strategi

Aku memilih tanpa strategi, hanya berpangku tangan pada keputusan hati. Terkesan tak peduli, tapi jauh di sanubari ada sebuah rasa gundah yang mengikuti Aku mencoba mengikuti jejak kaki, yang terkadang gentar saat mencoba menapaki Setiap warna yang ada pada pelangi, kadang tak sempat aku nikmati, karena begitu sibuk mencari jati diri Banyak yang mencoba menasihati, agar tak terlalu congkak diri, mau diapakan lagi, aku hanya mengikuti perkataan hati Sempat berfikir akan prestasi, yang sekian lama tak sempat aku miliki Setiap celoteh yang datang silih berganti tak pernah ku anggap sebagai belati, selalu saja ku coba untuk tak menggubris Setia pada pilihan memang sebuah prinsip, ingin mempertahankannya atau memilih untuk meninggalkan api saat telah berasap