Langsung ke konten utama

Tapak kaki

Seberapa jauh aku melangkah? Belumlah jauh dari tapak kaki berpijak. Tergugah akan sebuah harap yang begitu tinggi, terlalu tinggi untuk sosok yang begitu rendah sepertiku, segala sesuatunya selalu dikait-kaitkan dengan resiko, selalu di tanamkan dalam ubun-ubun akan pahitnya sebuah kegagalan. Semakin sering memikirkannya, bertambahlah rasa takutku.

Semua seperti kemelut langit di waktu senja. Penuh dengan gradasi warna yang padu, keelokannya indah terlihat, terlebih lagi dihiasi oleh burung-burung yang sibuk berkicau diatas awan, tapi semua itu akan bertahan lama? Tidak.. Malam mulai datang, mengusir tiap keindahan yang terjadi antara fajar dan senja, seakan tak terjadi apa apa , dan malamlah yang kemudian merajai waktu.

Rasanya seperti dihempas angin, bedanya aku bukanlah burung yang bisa mengepakkan kedua sayapnya untuk bisa bertahan pada hempasan angin sekencang apapun.

Kembali pada sesosok aku disini, mereka bilang "janganlah terlalu merendah" padahal aku tau, dibalik perkataan itu terselip makna "realistis saja menjalani hidup, jangan terlalu rendah, jangan terlalu tinggi" . Jujur saja aku tak bisa realistis. Aku sering menganggap diriku begitu rendah dan mimpiku begitu tinggi

Prasangka buruk tak pernah lepas dari sosok aku disini, seolah akulah pribadi yang buruk dan tak layak untuk mempunyai harap yang begitu tinggi, mungkin mereka benar.

Seperti benang yang halus dan tipis, mudah putus dan tak bisa disambung lagi ketika telah putus, mungkin diriku tak lebih kuat dari seuntai benang

Disaat ribuan orang berbondong-bondong berlari menghindari hujan karena takut basah, aku memilih menikmati butiran hujan yang jatuh ke permukaan kulit wajahku, tapi mereka berteriak dan mengatakan aku sudah kehilangan akal sehat

Entah mengapa aku tak ingin menggubris tiap suara itu, memilih pada jalanku sendiri.

Tak bisakah terima diriku ini?
Tak bisakah menutup perkataan yang menyakitkan itu?
Tak sadarkah kata-kata itu membuatku gundah?

Kau tau mengapa ada kata acuh dalam kamus bahasa indonesia? Karena adakalanya, perkataan tak selamanya perlu digubris

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mana yang lebih nyoke?

  agaknya bingung menghadapi orang yang nge-jude kita kalau kita itu nyoke! padahal mah dia sendiri yang Raja nyoke!  oke, secara teoritis nyoke itu sama halnya seperti bawel, ngomong mulu tapi omongannya gak guna! ya begitulah.  gimana yaah... gue disuruh sabar..sabar.. seolah-olah tuh ada kata-kata yang menari-nari bertuliskan "enak gak enak telen aje!" yap gitu. dan apa gue pernah protes untuk hal itu? nggak! mau rasa yang mane hah? asin?pait?asem? gue telen semua dapet gulanya jarang-jarang doang. tapi apa gue pernah protes? sedangkan anda? sedikit masalah saja sudah nyoke kemana-mana! wajar, anda manusia dan saya juga manusia tidak luput dari kesalahan, apa bedanya? hanya derajatnya saja, anda terlalu banyak MENUNTUT!  anda tipikal orang yang PENUNTUT?! sedangkan saya? tipikal orang yang TERPAKSA NURUT. kenapa?!! gak suka dibilang PENUNTUT? iye? nyoke-in aje gue lagi dah, bukannya gitu kebiasaan anda?. anda pernah merasakan jadi saya kan? yasudah! kenapa anda ma

Jarum di tumpukan jerami

Masih, Prasangka yang anda temui saat ini bukanlah yang sebenarnya, karena pada kenyataannya sulit bukan menemukan jarum di tumpukan jerami? Ya, anda tau persis berapa ukuran dan warna jarum yang sedang anda cari pada tumpukan jerami itu, tapi mengapa masih juga sulit menemukannya? Sama seperti mencari tiap bongkahan hati yang telah Anda rusak dan kini anda menghardik saya untuk mengembalikannya utuh? Lalu anda melenggang dengan mudah dan berseru " kau pasti bisa mencari jarum itu diantara tumpukan jerami, bukankah kau sosok yang kuat?" Cih... Jerami itu sama saja seperti perkataan anda, banyak dan menumpuk di sudut ladang dan siap untuk di bakar sehingga cepat, cepat menjadi abu lalu di jual oleh kakek paruh baya sebagai bahan untuk memoles peralatan rumah tangga. Merasa di butuhkan? Ya, benar anda masih sangat dibutuhkan. Tapi apakah harganya masih mahal? Seharusnya anda sadar jarum itu takkan pernah berubah Tapi sialnya..anda membuang tepat pada tumpukan jerami itu,

Pilihan hati tak memerlukan strategi

Aku memilih tanpa strategi, hanya berpangku tangan pada keputusan hati. Terkesan tak peduli, tapi jauh di sanubari ada sebuah rasa gundah yang mengikuti Aku mencoba mengikuti jejak kaki, yang terkadang gentar saat mencoba menapaki Setiap warna yang ada pada pelangi, kadang tak sempat aku nikmati, karena begitu sibuk mencari jati diri Banyak yang mencoba menasihati, agar tak terlalu congkak diri, mau diapakan lagi, aku hanya mengikuti perkataan hati Sempat berfikir akan prestasi, yang sekian lama tak sempat aku miliki Setiap celoteh yang datang silih berganti tak pernah ku anggap sebagai belati, selalu saja ku coba untuk tak menggubris Setia pada pilihan memang sebuah prinsip, ingin mempertahankannya atau memilih untuk meninggalkan api saat telah berasap